HIPPER 4.0 : CETAK BIRU PENDIDIKAN INDONESIA
https://sma10kaltim.blogspot.com/2020/04/hipper-40-cetak-biru-pendidikan.html
Himpunan Pendidik Penggerak 4.0 (HIPPER 4.0) bekerjasama dengan AGTIFINDO, APII dan Edutect Madrasah menyelenggarakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) tentang Cetak Biru (blueprint) Pendidikan Indonesia yang berlangsung secara Live Streaming (online) pada hari Selasa, 21 April 2020 pukul 14.00 - 16.30 WIB.
Diskusi ini menghadirkan narasumber dari kalangan legislatif yakni Bapak Ferdiansyah (Komisi X DPR-RI) dan tokoh-tokoh pendidikan nasional lainnya diantaranya Ibu Najelaa Shihab (founder Sekolah Cikal), Bapak Achmad Rizali (Nu Circle) dan Bapak Indra Charismiadji yang dikenal sebagai pengamat dan praktisi pendidikan.
Diskusi diawali oleh paparan Bapak Ferdiansyah mengenai tentang cetak biru pendidikan yang harus dimiliki Indonesia. Pada Rapat Kerja DPR beberapa tahun lalu telah menyampaikan kepada pemerintah untuk segera membuat cetak biru pendidikan namun sayangnya sampai detik ini tetap belum terwujud.
Indonesia memang telah memiliki berbagai Instrumen tentang pendidikan mulai dari puluhan perundangan hingga peraturan pemerintah serta peraturan menteri yang harus diharmonisasi dan dapat dijadikan dasar dalam merancang cetak biru pendidikan tersebut.
Merespons hal tersebut, anggota Komisi X DPR, Ferdiansyah mengatakan, berdasarkan raker DPR dengan pemerintah yang menginisiasi revisi UU Sistim Pendidikan Basional (Sisdiknas) yang telah masuk PROLEGNAS adalah pemerintah yakni menteri yang bertanggung jawab di bidang pendidikan. Artinya, ini harus diinisiasi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim.
Ferdiansyah juga menuturkan bahwa Nadiem harus segera memulai pekerjaan besar ini karena dikhawatirkan akan terlewatkan oleh agenda lainnya dan tidak terbahas hingga berakhirnya masa jabatan legislatif maupun menteri itu sendiri yang akan menjadi PR berkepanjangan.
"2007 kami sudah menyampaikan untuk membuat cetak biru pendidikan. Tapi tampaknya cetak biru belum berpihak kepada kita, sehingga sampai sekarang cetak biru belum dibuat,". Kita berharap cetak biru ini bisa selesai dalam enam bulan ke depan, sesuai dengan janji Mendikbud Nadiem Makarim beberapa waktu lalu. Ferdiansyah percaya kepada Nadiem, meski saat ini Indonesia tengah mengalami masa darurat covid-19.
"2007 kami sudah menyampaikan untuk membuat cetak biru pendidikan. Tapi tampaknya cetak biru belum berpihak kepada kita, sehingga sampai sekarang cetak biru belum dibuat,". Kita berharap cetak biru ini bisa selesai dalam enam bulan ke depan, sesuai dengan janji Mendikbud Nadiem Makarim beberapa waktu lalu. Ferdiansyah percaya kepada Nadiem, meski saat ini Indonesia tengah mengalami masa darurat covid-19.
Menyinggung masalah revisi UU Sisdiknas, secara umum perubahan Sisdiknas ini harus dapat menggambarkan apa yang diharapkan dari SDM Indonesia 20-30 tahun mendatang dan diterjemahkan dalam cetak biru pendidikan, termasuk yang ada kaitannya dengan kebutuhan anggaran ujarnya.
“Jadi harapan kami yang dibuat oleh Mas Nadiem, cetak biru itu adalah tahapan-tahapan dulu. Sebagai Menteri yang bertanggung jawab pada bidang pendidikan ia harus berani menyampaikan kepada Pak Jokowi sesuai amanat UU Sisdiknas.” ujarnya lagi
Selanjutnya dia berharap, pada era kepemimpinan Mendikbud milenial ini dapat mewujudkan cetak biru pendidikan Indonesia. Pasalnya, cetak biru pendidikan diharapkan ini bukan sekadar naskah, tetapi gambaran bagan rencana pendidikan beberapa tahun mendatang apa yang harus dicapai.
Simak Diskusi Lengkapnya pada video berikut:
Selanjutnya founder Sekolah Cikal, ketika ditanya oleh Fathur (Host FGD dari HIPPER 4.0 & AGTIFINDO) mengenai pernyataan Najelaa Shihab disalah satu talkshow stasiun TV yang menyebut Indonesia sedang darurat pendidikan karena dunianya sudah berubah sedangkan kurikulumnya tidak berubah, apakah ini karena Indonesia tidak memiliki Cetak Biru Pendidikan ?
"Tak hanya virus korona (covid-19) yang mengalami kedaruratan, namun pendidikan Indonesia juga dalam masa gawat darurat. Masih banyak permasalahan pendidikan yang terjadi di Indonesia, bahkan pendidikan berjalan tanpa adanya cetak biru, dikatakan gawat darurat karena kita terengah-engah." ujar Najeela dalam diskusi tersebut.
Untuk itu, Pemerintah harus dapat segera menerbitkan cetak biru pendidikan. Agar ada patokan yang jelas dalam mengelola pendidikan Indonesia dari berbagai aspek. Perbaikan dapat dilakukan secara bertahap, namun harus dimulai cetak biru tersebut, terutama pemerataan pendidikan, isu kesenjangan harus jadi tantangan utama yang terlihat nyata dalam cetak biru nantinya.
Terlebih pada masa darurat virus korona ini. Menurut Najelaa isu pendidikan Indonesia semakin menampakkan banyak hal yang harus dibenahi.
Di pandemi kelihatan yang punya akses dan sumber belajar banyak, dengan adanya pandemi ini kesenjangan capaiannya menjadi makin lebar dibanding mereka yang jauh lebih beruntung, dia berharap pengaturan nantinya bisa detail. Agar Indonesia tak terus kewalahan menjalankan sistem pendidikan.
Sebelum menyusun cetak biru pendidikan, semua pihak harus menyepakati terlebih dahulu konsep seperti untuk mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) unggul dari berbagai sektor. Ia menjelaskan, yang dimaksud bukan hanya sektor pendidikan saja tetapi juga sektor lainnya seperti ekonomi, sosial, budaya dst.
Najelaa menuturkan, perlu pemahaman yang utuh agar segala sesuatu yang tertuang dalam cetak biru pendidikan relevan dan tidak hanya berlaku untuk waktu sekarang atau periode politik tertentu.
“Bagi saya blue print atau strategi-strategi yang akan disusun semua harus bisa memberdayakan semua pemangku kepentingan di dalam ekosistem ini sehingga semua bisa mengambil peran”, tambahnya lagi.
Ia menyebutkan, ada tiga poin kunci harus diperhatikan dalam menyusun cetak biru pendidikan:
Pertama; mendorong guru dan kepala sekolah menjadi penggerak sehingga sekolah tersebut bisa menjadi contoh praktik baik dengan target yang telah disepakati bersama.
Kedua; mengubah ekosistem pendidikan Indonesia agar mempunyai kader kepemimpinan mulai dari kepala sekolah. Sebaiknya, kepsek tidak hanya memiliki kemampuan administrasi tetapi juga punya kemampuan kepemimpinan. Ini juga berlaku untuk kepala dinas pendidikan, yang harus memiliki visi yang sama. Ini tujuannya agar blue print tidak hanya dijadikan sebagai dokumen saja, tetapi salah satu target utama. Sehingga tidak ada istilah ganti menteri, ganti kebijakan, karena pemimpin seperti kepala sekolah dan kepala dinas ini jauh lebih berpengaruh dalam menentukan arah pendidikan daripada kebijakan makro.
Ketiga, terkait kebijakan yang saat ini telah masuk dalam prolegnas melalui revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Najelaa berharap, pada persiapan cetak biru pendidikan ini semua pihak dilibatkan agar terjadi kolaborasi, baik itu pemerintah pusat, pemerintah daerah (pemda), dan pihak swasta. Dengan begitu, kolaborasi memajukan pendidikan menjadi tradisi baru dalam pendidikan Indonesia, sehingga yang mengawal pendidikan memiliki stakeholder yang jauh lebih luas.
Selanjutnya pembicara ketiga dari NU Circle yakni Achmad Rizali menyampaikan bahwa bentuk perundangannya yang paling rasional dan relatif mudah adalah Peraturan Pemerintah (PP). Jadi cukup dengan PP untuk mengikat Cetak Biru Pendidikan Indonesia, dan itu dapat bertahan lintas periode kepemimpinan. Memang sebaiknya bentuknya UU, namun proses politik sebuah UU akan "alot" dan memakan banyak waktu dan energi.
Disisi lain, menurut Rizali, bahwa Indonesia memiliki UU No 17 Tahun 2007 Tentang RPJPN 2005-2025 yg digunakan untuk "menggantikan" GBHN. Isi RPJPN masih sangat normatif terutama dlm sektor Pendidikan dan Kebudayaan cq. Pembangunan SDM
Meski dibagi 4 tahap @5 Tahun, namun setiap tahap sering tidak sinkron/hasil tahap sebelumya jarang digunakan untuk rujukan. Seharusnya dibuat turunan RPJPN setiap sektor semisal khusus Pendidikan dan Kebudayaan menjadi "Cetak Biru" 2005-2025
Cetak Biru Pendidikan dan Kebudayaan diperlukan agar jelas sosok manusia Indonesia yg diinginkan secara normatif oleh Konstitusi dan terwujud sesuai zamannya. Harus diikat dalam LEGALITAS yg tepat guna, sedikitnya berbentuk PP karena harus di atas RPJMN.
PP "Cetak Biru" tersebut harus disebutkan dalam UU Sisdiknas yg akan direvisi sehingga memiliki kekuatan memaksa Kemdikbud, siapapun yang memimpin lembaga tersebut kedepannya.
Isi "Cetak Biru" harus lebih artikulatif dan tidak multitafsir serta terukur sehingga mengurangi sifat Normatifnya, tutur Rizali dalam sesi presentasinya.
Sementara itu pengamat pendidikan bapak Indra Charismiadji mengatakan hal yang senada bahwa dalam mencetak sumber daya manusia (SDM) unggul, Indonesia membutuhkan blue print (cetak biru) pendidikan. Ini merupakan fondasi awal bagi keseluruhan pendidikan. Sayangnya hingga saat ini Indonesia belum memilikinya.
“Pada periode ini ada program badan legislasi nasional untuk merevisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang telah masuk PROLEGNAS, tentu salah satu bahan dasarnya mestinya adalah blue print. Jadi sama saja dengan kita mau bangun rumah harus ada cetak birunya. Mau berapa kamar atau berapa tingkat. Nah, itu yang selama ini kita enggak punya,” kata Indra.
Indra mempertanyakan apakah pemerintah sudah menyiapkan cetak biru dalam menyusun UU Sisdiknas. Pasalnya, hingga saat ini belum terjadi pergerakan dalam revisi UU Sisdiknas.
Ketika diatanya oleh host mengenai program Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka serta program diklat-dikalt yang ada apakah belum cukup sebagai sebuah program unggulan, mengapa harus tetap ada Cetak Biru?
Dia menganalogikan ketika membangun rumah nggak punya blueprint, kita mau bangun 3 kamar jadinya satu kamar, kita mau bangun dapur jadinya garasi tapi anggarannya sama.
Sejarah perjalanan anggaran pendidikan kita dari Kemenkeu dari tahun 2015 dari APBN belum termasuk APBD dan dana masyarakat di tahun 2020 ini anggarannya naik, tapi akses belum maksimal.
Sedangkan dari sisi mutu, pak Indra mengkritisi hasil dari data PISA, penggunaan dana pendidikan atau dana BOS yang belum dapat dievaluasi, tunjangan profesi pendidik yang tidak ada panduan secara detail serta komitmen Pemerintah Daerah sebagai pelaksana didaerah mengenai komitmen pengangaran diatas 20% dari PAD untuk pendidikan masih kurang dari 5%.
Memang benar kita sedang dalam darurat, terliunan sudah kita keluarkan untuk sektor pendidikan, tapi kita tergagap-gagap ketika menghadapi korono, infrastruktur pendidikan kita belum siap termasuk guru-guru dan sistem pendidikan kita secara keseluruhan.